Cerita buat membelai hati sendiri. Tidak ada kena mengena dengan mana-mana individu. :)
Cerita buat membelai hati anak-anak
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Angin menderu, meliuk lentok pohon-pohon nyiur di tepi pantai. Pohon-pohon rhu tetap tegak sambil dedaunnya berdesir berzikir memuji ke-esaan Allah S.W.T, pastinya.
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. [Al-Quran 22:18]
Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. [Al-Quran 22:18]
Wanita yang berdiri tegak memandang ombak membetulkan letak tudung yang menghijab kepalanya. Sesekali matanya memerhatikan sepasang pasangan warga emas yang menjamu selera di gerai di tepi tebing pantai. Mee udang pilihan mereka berdua. Rasa sejuk menyelinap kalbunya. Sejuk yang dihantar Allah bersama angin. Itulah ibubapanya yang menjadi sebab dia lahir ke dunia ini. Itulah orang tuanya yang dengan adanya mereka dia sampai ke takat ini.
Wanita bertubuh sederhana itu terus berjalan di gigi pantai sambil memerhatikan ketam-ketam pantai yang mengajar anak-anaknya berjalan. Yang pasti ibubapanya bukanlah seperti ketam yang mengajar anaknya berjalan lurus, sedang diri ketam itu sendiri jalannya mengiring. Biarpun ibubapanya tidak pernah menjejakkan kaki ke menara gading, mereka tetap teguh utuh dengan cita-cita mereka, ilmu itu harus digali. Kalau bukan mereka, anak-anak pasti didorong.
"Kakak, mee udang kakak dah nak sejuk ni," suara lelaki tua di sisi pasangannya mergema memanggil anaknya yang masih melayan hati digigi pantai.
"Makan dulu, nanti sambung jalan-jalan lagi," giliran ibunya bersuara.
"OK, mak, abah" Jawab wanita bernama Ummu Humaira', sambil membawa langkah kakinya menuju ke meja yang diduduki oleh Pak Hussein dan Mak Ton.
Mereka bersama-sama menikmati mee udang yang sangat terkenal di pesisir pantai ini. Sambil mulut menjamu selera, mata juga menjamu selera dengan indahnya alam dan luasnya lautan ciptaan Allah ini. Kelihatan dua bot nelayan kecil pulang di petang hari membawa pulangan tangkapan udang yang pastinya segar dari laut.
Dan Dia lah yang memudahkan laut, supaya kamu dapat makan daripadanya daging yang lembut hidup-hidup, dan dapat pula mengeluarkan daripadanya benda-benda perhiasan untuk kamu memakainya dan (selain itu) engkau melihat pula kapal-kapal belayar padanya; dan lagi supaya kamu dapat mencari rezeki dari limpah kurniaNya; dan supaya kamu bersyukur. [Al-Quran 16:14]
Dengan itu sesungguhnya teramat besar nikmat dari Allah itu yang harus kita syukuri. Tiada lagi nikmat yang patut diingkari.
Sambil menikmati mee udang yang lazat itu, hati Ummu Humaira' berkecamuk dalam dua persimpangan. Hati yang girang memandang wajah Pak Hussein dan Mak Ton yang memancar kegembiraan mereka. Melepas rindu pada Ummu Humaira', anak mereka yang sekian lama terpisah oleh kekangan jarak dan keterbatasan kemampuan ekonomi. Dalam pada itu, hati keibuannya terkenang-kenang pada cahayamatanya sendiri yang terpaksa berpisah jauh, atas tuntutan keperluan pembelajarannya. Pasti jua sepenuh rindunya tumpah buat suaminya yang tercinta yang berkorban segala, merawat rindu anak-anak mereka. Mee udang yang biasanya terlalu sedap bila di iring gelak tawa anak-anaknya bermain di gigi pantai, terasa begitu tawar setawar hatinya yang hanya mampu memutar pita memori pada cetusan tawa anak-anaknya.
Deru ombak yang keras menghempas pantai seperti nyanyian hatinya.
'Pulangku ini biarlah menjadi ibadahku. Pulangku ini biarlah menjadi bakti buat orang tuaku. Alangkah ruginya diriku andai yang ku perolehi hanya hati yang merindu, sedang Allah telah membuka jalan yang luas buatku mengumpul pahala berbakti pada insan-insan mulia dalam hidupku,' monolog Ummu Humaira' sendiri.
Mereka terus melayan hati sendiri, ada senyum bertukar ganti dibibir Pak Hussein dan Mak Ton bila mereka berpandangan. Ummu Humaira' memandang ibubapanya dan tersenyum kemudian anak mata dilirih ke arah laut lepas, sambil hati berdoa dalam monolog hatinya dengan yang Esa.
'Ya Allah, bukan sedikit hati meraka terguris kerana perlakuan ku yang jahil dahulu, syukurku ya Allah, Engkau beri kesempatan aku menebus walaupun ku tahu itu hanyalah tebusan pada sepicing saja nilai hati yang terluka. Semoga ini menjadi bekal pahala buat menggapai rahmat Mu. Ya Allah, Kau bayarkan jua rindu suami dan anak-anakku dengan pahala kebajikan yang berterusan ya Allah.' Monolog hati Ummu Humaira' tatkala mata memandang terus ke horizon laut.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Tak nak duduk dengan mak....... nak balik kampung," Tangisan anak berusia 7 tahun yang masih belum mengerti erti dunia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumpa di Second chapter
Hak Cipta Terpelihara:
melatiblossoms.blogspot.com
No comments:
Post a Comment